Fini tahu kalau hari ini merupakan hari terakhir dia melihat pria itu. Tak ada yang berubah, tak ada hal yang baru, tak ada sesuatu yang ia dapatkan. Tidak ada. Segalanya berjalan seperti biasa.
Kau tahu? Aku selalu memperhatikanmu. Menguntitmu hingga ke sela-sela kehidupanmu. Aku tahu segalanya, segala hal tentang dirimu. Namun sangat disayangkan bahwa kau tak pernah tahu tentang diriku. Menurutmu, aku tidak ada, mungkin aku hanyalah berupa bayang-bayang semu. Bergelut di sisi tergelap dalam jangkauan pandanganmu. Bukalah, bukalah matamu lebar-lebar. Lihat, lihatlah aku. Seorang gadis yang hanya dapat jatuh cinta diam-diam.
Ya, aku ada di sana.
***
Namanya Raditya, siswa kelas C, zodiak capricorn dan jago dalam olahraga. Rambutnya cepak, hitam, membingkai wajahnya yang oval. Raditya memiliki kulit putih, lengan kurus dan tubuh yang tinggi. Dia pintar, cerdas, menggebu-gebu saat berbicara, sungguh berbanding terbalik dengan diriku. Ya, denganku.
Fini menopang dagunya saat matanya memperhatikan murid kelas C berolahraga. Pikirannya membuncah keluar. Jauh meninggalkan raganya. Ajaran dari Pak Rano, guru matematikanya, menembus pikirannya tanpa ada yang tertangkap.
Murid kelas C sedang bermain basket. Peluit kadang dibunyikan pertanda mereka diharuskan untuk menembak bola ke keranjang. Debu bertebaran dimana-mana, khusus mengitari Raditya. Pipi lelaki itu dibasahi oleh keringat, seragam olahraganya yang putih mulai bekerja aktif dalam menyerap keringat pemiliknya.
Derai tawa memenuhi lapangan, banyak murid wanita yang melirik Raditya, Fini tahu itu. Fini tahu hanya dengan melihat sekilas.
Raditya mulai berlari dengan gesit, meliuk-liuk bagaikan ular dan menembak bola ke keranjang. Bola basket tersebut mengenai sisi luar keranjang. Akibatnya, bola itu melayang dengan bebas, menyatu dengan langit yang berwarna biru terang. Fini mendongak, mengikuti gerak si bola.
“Fin?” sebuah suara memanggilnya. Gadis itu menoleh.
“Hati-hati di hukum Pak Rano lho,” sahut Dinda, menasihati. Fini tertawa, menepuk pundak teman sebangkunya itu.
Dinda kembali berbisik, “Anak kelas C lagi olahraga ya...” matanya mulai menerawang ke luar jendela.
“Iya...” jawab Fini, sembari memandang ke luar jendela untuk kesekian kalinya. Menyadari bahwa kini, tatapan Raditya tertoreh ke arahnya.
Tepatnya, mereka bertatapan.
***
Lima menit setelah bel istirahat kedua berdentang, counter bakso telah dibanjiri oleh murid-murid putih biru yang kelaparan. Dinda memilih bangku yang sangat tepat, sangat dekat dengan Raditya. Hanya berjarak dua bangku darinya.
“Mas, mi baksonya dua ya,” Dinda memesan. Dia kemudian berkata, “Ngomong-ngomong, dua bulan lagi kita udah lulus ya.”
Fini terdiam. Tinggal dua bulan lagi, dan dia belum melakukan apa-apa. Namun apa yang sebenarnya harus dia lakukan?
“Nanti kita bakal jarang ketemu, jadi kangen banget deh...”
“Iya, kangen banget...” jawab Fini, dalam artian lain.
Tak lama lagi, mereka akan lulus. Mereka akan menjalani kehidupan SMA mereka masing-masing. Mungkin, suatu saat nanti dia akan melupakan Raditya. Mungkin, dia akan menyukai seseorang lagi. Bukan Raditya. Seseorang yang baru, cinta yang baru.
Tidak.
Bukan itu yang diinginkan olehnya. Cepat atau lambat, dia tahu kalau ia harus melakukan hal ini. Fini telah menimbang rencana itu masak-masak. Ia telah menetapkan hatinya, bahwa apa pun yang terjadi, ia akan menerima konsekuensinya tanpa banyak tanya.
Semangkuk mi bakso akhirnya tersedia di hadapan Fini. Ia mengusap telapak tangannya, menghirup dalam-dalam aroma sedap yang mengepul menusuk hidungnya. Fini tersenyum...
–sarkatis.
***
Hari itu, Raditya sedang berbicara dengan ekspresi menggebu-gebunya bersama dengan Dinda dan anggota osis yang lain. Fini tak tahu apa yang mereka bicarakan. Sepertinya, sesuatu yang penting. Fini menatap mereka dari kejauhan, sama seperti sebelum-sebelumnya, hanya dari kejauhan.
Fini tahu, kalau tas Raditya akan dititipkannya di perpustakaan. Gadis itu bergerak menuju ke perpustakaan saat itu juga. Beruntung, saat itu perpustakaan sedang hening-heningnya. Kipas angin yang berada diatas ruangan itu tidak dinyalakan, mungkin karena pada saat itu pengunjung belum ada sama sekali. Ibu guru penjaga sedang sibuk mencatat hal-hal yang tidak Fini ketahui. Fini menyelinap. Menyelipkan sepucuk kertas merah jambu ke dalam tas yang telah dikenalinya.
Dan tanpa seorang pun tahu, dia pergi.
***
Hari ini, merupakan hari terakhir Fini dapat melihat pria itu. Fini sengaja duduk di barisan depan, hampir terdepan. Dia mengedarkan pandangannya, mencari sesosok pria berambut cepak itu untuk yang terakhir kalinya. Yang ada, dia hanya melihat orang-orang seumurannya dengan kaos sablonan berwarna hitam berlalu-lalang. Sibuk mendekorasi ruangan luas itu.
Bangku-bangku plastik hampir sepenuhnya terisi, panas mulai menguar, namun acara perpisahan itu belum memiliki tanda-tanda akan dimulai. Teman-teman sekelas Fini sibuk mengobrol, membuat ruangan tersebut semakin bising. Tak ada juga tanda-tanda bahwa dia akan datang.
Fini yakin, dia pasti akan datang karena gadis itu telah menyuruhnya datang. Dia telah menyuruhnya datang dengan sepucuk surat merah jambu yang telah ia selipkan dua bulan yang lalu. Pasti akan datang. Pasti.
Jam sepuluh tepat. Fini tersenyum. Ia menarik nafas dalam-dalam, melangkah dengan mantap menuju ke belakang aula.
Benar saja, diantara jajaran pepohonan itu, lelaki berambut cepak itu ada disana.
Wajah Raditya kini bersemu merah, rangkaian bibirnya tergagap. Mungkin tubuhnya memanas, mungkin jantungnya akan meledak, mungkin dia telah melayang bagai komet. Fini hanya dapat menerka-nerka.
“Aku suka kamu...” Raditya berbisik, hatinya mencelos. Meskipun hanya berupa bisikan, namun Fini dapat mendengarnya.
“Iya, aku juga suka,” Dinda akhirnya menjawab setelah jeda beberapa detik.
Ya, sejak tadi, Dinda memang ada disana. Segalanya sesuai dengan rencana yang telah disusun dengan apik. Fini menyandar ke dinding, tempat yang paling aman untuk menguntit. Ia berjongkok, tersenyum lepas sembari memandang ke arah langit, terik matahari menyilaukan pandangannya.
Kau tahu? Aku selalu memperhatikanmu. Menguntitmu hingga ke sela-sela kehidupanmu. Aku tahu segalanya, segala hal tentang dirimu. Aku tahu seluruh mimik wajahmu. Seluruh lambang ekspresimu. Aku juga tahu kalau kau mencintainya. Sungguh, dari dulu juga aku sudah tahu, karena aku mengetahuimu lebih dari siapa pun. Bahkan lebih dari orang yang kau cintai itu.
Namun sangat disayangkan bahwa kau tak pernah tahu tentang diriku. Menurutmu, aku tidak ada, mungkin aku hanyalah berupa bayang-bayang semu. Bergelut di sisi tergelap dalam jangkauan pandanganmu. Bukalah, bukalah matamu lebar-lebar. Lihatlah, lihatlah aku. Seorang gadis yang hanya dapat jatuh cinta diam-diam.
Aku tidak disana... aku disini.
Aku disini...
–disini!
1 Respon pembaca:
cerita bagus ^^...cuma ada beberapa tanda baca yg masih salah,coba lebih teliti lagi :)
salam kenal :)
Posting Komentar