Redaksi Majalah

Berminggu-minggu yang lalu kiranya. Saya ditelfon oleh redaksi majalah K yang ingin mengkonfirmasi mengenai cerpen yang telah saya kirimkan berbulan-bulan sebelumnya. Sangat disayangkan, staf tersebut menelefon saya pada waktu yang sangat tidak tepat.

Ya, sangat tidak tepat.

Kiranya jam satu siang, saat istirahat kedua berlangsung, saya tengah tertidur di dalam kelas. Saat itu, saya memang sedang didera kantuk yang luar biasa sehingga saya pun tertidur di kelas dengan lelapnya.

Kemudian kejadian itu bermula.

Saya merasakan ada getar-getar di paha kanan saya. Saya tahu kalau getar itu berasal dari HP saya. Dengan ogah-ogahan tingkat akut, saya meraih HP saya dan menatap layarnya sesaat dengan mata lelah.

Nomor nggak dikenal.

Awalnya saya tidak ingin menggubris, namun saya lumayan penasaran dikarenakan rangkaian nomor-nomor tersebut berasal dari kota lain. Saya jadi terdorong untuk mengetahui barangsiapa yang nyasar gila-gilaan ke nomor saya. Maka dari itu, saya mengangkatnya.

Saya : Hem??

Dengan suara yang begitu lembut dan tertata bak seorang pembaca berita, wanita yang berada di seberang mulai ngomong panjang.

Wanita-di-seberang : Kami dari redaksi majalah K, apa betul ini Mbak Wildy De Partie Muchlis yang mengirimkan cerpen yang berjudul 'Fairy Tree Story'?

Saya : Ah, iya...

Wanita-di-seberang : Sekali lagi kami ingin mengkonfirmasi, apa benar cerpen ini tidak pernah dimuat dalam media apapun?

Saya : Ah, iya...

Wanita-di-seberang : Betul, tidak pernah? Dimuat di facebook atau blog, begitu...

Saya : Blog, pernah...

Sepertinya, wanita itu menemukan secercah harapan yang hilang. Dengan nada puas, dia melanjutkan kalimatnya.

Wanita-di-seberang : Maaf, karena sudah menjadi peraturan kami bahwa karya tidak dapat dimuat dalam media manapun. Maka, dengan sangat terpaksa karya ini saya tolak.

Saya : Ah, iya...

Saya tak berekspresi. Pikiran saya masih diangan-angan.

Wanita-di-seberang : Mungkin Mbak bisa mencoba di kesempatan lain.

Saya : Ah, iya...

Tut..tut..tut...
Telepon di tutup.

Saya kembali tertidur melanjutkan mimpi yang telah saya rajut tadi. Beberapa menit setelahnya, saya baru sadar kalau karya saya ditolak karena ketidakseriusan saya dalam mengobrol. Tapi yah, saya tidak menyesal akan keputusan saya karena di tengah-tengah batas sadar saya itu, saya berkata jujur.

Sebelumnya, saya sudah mendapat email yang berisikan konfirmasi dari redaksi tersebut bahwa karya saya layak muat dan akan masuk list tunggu. Semudah itu, saya menghancurkan impian yang saya bangun selama berbulan-bulan.

Dan semudah itu pula, saya kembali tertidur.

0 Respon pembaca:

Posting Komentar