Fairy tree stories

Brrrrssshh….Brrrssshhh….Wuuuuuuusssshhh

Angin memainkan tekanannya, hujan tertarik untuk ikut bermain dengan angin. Permainan antara angin dan hujan menciptakan komposisi badai yang dahsyat. Jika aku adalah anak manja dengan selimut yang melingkari tubuh dan coklat panas yang mengepul di bawah hidungku. Badai bukanlah masalah besar. Namun sayangnya, Aku bukan anak manja itu.

Disinilah aku, rumah pohon menyeramkan dengan gigitan nyamuk hampir diseluruh bagian tubuh –mungkin kini aku akan dikenali sebagai pria wortel-, dingin yang memeluk dan suara berisik badai yang menggoda. Tanpa minuman hangat, selimut, suara menenangkan seorang ibu –ayolah, aku tak terlalu mengharapkan kemanjaan tingkat akut itu- dan satu hal yang paling penting dari seluruh hal yang kusebutkan tadi, aku berada di sini sendiri kedinginan tanpa LOTION ANTINYAMUK!. Kawan, sungguh, hal ini akan menjadi lebih buruk lagi.

Nah, kawan, biar kujelaskan mengapa aku bisa terduduk dalam ruangan ini. Sebenarnya, masalahnya sangat simpel –mungkin-. Namun entahlah, mungkin karena phobia atau paranoid-ku saja. Tapi… aku benar-benar tak ingin melakukannya walau dipaksa dengan cara apapun. Toh itu hanya kegiatan mengunjungi kota dalam meramaikan acara wisata sekolah. Melarikan diri ke rumah teman atau sepupu-pun tak ada gunanya. Anak sinting macam mana yang ingin berlari keluar dari jalanan besar–yang mirip seperti hutan- malam-malam dengan cuaca seperti ini,?. Apalagi rumah mereka sangat jauh. Di ujung desa Avonlea.

Aku tak akan mau naik balon udara. Dan seorang ibu akan terus memaksa anaknya untuk ikut kegiatan sekolah tanpa tahu seberapa penting kegiatan itu. Menyebalkan, melihatku menghilang, ibu sama sekali tak mencariku.



***

Ngiiiiiiinngg….taktak….ngiiiiiiiinggg….

Kepakan sayap nyamuk yang menimbulkan bunyi , suara ranting pohon yang bergesekan dengan atap rumah pohonku dan bunyi guntur berkolaborasi dengan sempurna. Mereka seperti kumpulan penyanyi seriosa dengan suara beroktaf-oktaf pada setiap anggotanya. Aku komat-kamit berdoa. Semoga saja awan ber-elektron penuh tak memilih pohonku yang tinggi dan tua ini sebagai tempat pemuntahan elektronnya. Dibandingkan dengan itu, aku lebih takut dengan balon udara.

Kantuk menyelimutiku namun perlahan-lahan terusir karena lolongan penyanyi seriosa versi rock yang masih berdentum-dentum dengan semangatnya. Mataku yang mulai bosan mulai memandang ke sekeliling ruangan. Aku terduduk sambil bergulung diri diatas sekotak kayu lapuk –yang hampir menyerupai kasur keras sedikit basah-. Aku berada di sudut rumah agar dapat memperoleh kehangatan dan terhindar dari rembesan air hujan yang terkadang dapat menembus atap jati berlubang. Selain kotak yang kududuki saat ini, tak ada benda lain lagi. Masih teringat –meski secuil dari sekian banyak- saat ayah membangun rumah ini di atas pohon dedalu tua dekat rumah dalam rangka keusilan belaka. Setelah selesai membuat rumah ini, Ayah cukup merasa puas dan membiarkannya tergeletak begitu saja. Layaknya mainan rusak.

Cringggg….

Bunyi samar-samar gemerincing terdengar pelan. Tersembunyi oleh iringan guntur dan hujan. Belum jelas bunyi itu berasal dari mana. Namun aku telah bersiaga untuk menatap sekeliling dengan waspada.

Crriiingggg…

Bunyi gemerincing terdengar lebih jelas lagi. Seakan berada tepat di dekatku. Aku berbalik arah. Tak ada apa-apa. Yang terlihat hanya jendela berbentuk segi empat yang tak mempunyai penutup sehingga air hujan terkadang masuk ke rumah pohon. Mengakibatkan genangan air pada sebagian lantai kayu. Merasa tak ada sesuatu yang terjadi, Aku kembali lagi ke tatapanku semula. Namun mataku menangkap sesuatu yang membuat sekujur tubuhku menjadi lebih dingin. Mengalahkan rasa dingin hujan

Dihadapanku nampak gadis kecil seumuranku–mungkin- dengan gaun putih sampai lutut. Ia memandang wajahku yang terkesiap melihatnya. Untuk mengatasi hal ini, otakku menghasilkan beberapa pilihan, pilihan pertama, berdiam terduduk menahan nafas agar dia mengira aku adalah patung penghias rumah pohon dedalu tua yang jelek. Kedua.. menangis sambil berkata ‘aku sebangsa denganmu kawan! Aku juga hantu’. Atau… berpura-pura pingsan sampai ia pergi. Oke kawan, aku memilih pilihan pertama.

Aku terdiam, agar membuat wajahku Nampak seperti patung, aku membuat tatapanku kosong dan mencoba untuk tidak terlihat panik. Tapi gadis kecil mengerikan itu malah mendekatiku. Ampun! Mungkin ia terheran dan penasaran. Pengalaman pertama untuknya melihat patung penunjuk ekspresi bingung jelek yang sama sekali tak terlihat berguna dan bernilai di dalam rumah pohon yang kosong. Namun apapun yang terjadi, kurasa pilihan kedua tadi sepertinya terdengar lebih baik.

“Hey manusia bodoh” Ucapnya tepat dihadapanku. Sedikit demi sedikit terlihatlah wujudnya yang terkena sinar rembulan. Kulitnya berwarna kuning langsat, mata cantik kecoklatan dengan bulu mata yang lentik. Diterpa oleh cahaya, wajahnya terlihat cerah dan hidup. Pakaian putihnya pas mengikuti setiap lekukan tubuhnya. Rambut lurus sebahu pirang dengan ikal pada bagian bawah dan poni! Sungguh, cantik sekali. Namun sayangnya, raut wajahnya sedikit. Ehm, galak.

Berhadap-hadapan dengan gadis kecil cantik pembuai lelaki sepertinya membuatku terpesona. Para ibu Desa Avonlea bahkan tak akan pernah dapat menghasilkan keturunan secantik dia. Aku gugup, benar-benar gugup. Dan karena kegugupanku itu kata-kata yang dapat keluar dari mulutku hanyalah “Ha?”

Ia memandangku dengan tatapan yang seolah mengatakan ‘kau anak aneh gila, enyahlah kau digilas burung hantu yang bertengger di pohon sekitar pusat desa’.

Tapi, ketika aku memperhatikan tubuhnya. Mataku menangkap sesuatu yang asing pada sang gadis kecil cantik. Di punggungnya terdapat kain kaku berjaring-jaring yang sepertinya rumit untuk di buat oleh penjahit manapun. Tapi … kain itu, bukan kain. Eh … sesungguhnya malah terlihat seperti sayap.

Hooo … aku mengerti. Anak ini terpisah dari rombongan kejutan hallowennya, dan terbimbing dengan sendirinya menuju tempat ini.

“Enyahlah kau”

Ya, bercandaan yang lucu. Tapi maaf aku tak punya permen hallowen untuk dibagi.

“Pergi!” teriaknya. Ia mengeram marah. Suaranya teredam oleh hujan. Wajahnya merah. Kurasa untuk saat ini aku menarik seluruh kata-kataku yang mengatakan ia cantik, anggun dan gemulai. Ia menjadi buruk dan sedikit lebih sinting dariku kelihatannya. Ia tiba-tiba muncul dan menyuruhku pergi seakan-akan dialah pewaris tertulis sah dari pohon ini. Patut kusadari sekarang. Sepertinya ia tidak menginginkan permen dariku.

Entah karena hal apa, aku juga ikut marah kepada si cantik menyebalkan, kalimat-kalimat ocehan meluncur begitu saja “Kau yang pergi dari sini! Ini rumah pohonku! Dan bukan kau yang susah payah membuatnya” Aku tak menambahkan kalimat ‘tapi ayahkulah yang membuatnya, kau bertanya apa hakku kepada pohon ini padahal bukan aku yang membuatnya? Haha, pertanyaan bagus anak aneh. Oke, sebenarnya aku juga tak tahu jawabannya’, tapi kurasa, aku akan kalah debat dengan anak ini jika kutambahkan kalimat itu.

“Anak bodoh, pergi atau mat…” criiiiiingggg….suara gemerincing muncul lagi. Gadis pemarah tiba-tiba menjadi gelisah. Sesekali ia memperhatikan sekeliling rumah pohon. Seolah-olah sesuatu akan segera muncul menembus badai, sesuatu itu akan membunuh kami dengan keji. Kemudian melemparkannya ke danau besar perbatasan desa. Ia tiba-tiba mencengkeram tanganku, aku mengaduh kesakitan.

“Hai, peri Dryad” Suara dingin wanita terdengar begitu jelas di belakang gadis yang mencengkeram tanganku. Suaranya begitu menusuk, terdengar lebih kejam dari suara marah gadis yang mencengkeram tanganku ini. Eh, tunggu dulu … apa katanya tadi? mereka, PERI? Baiklah, mau tidak mau aku percaya saja pada mereka.

Sosok peri wanita bersuara dingin telah menampilkan wujud sepenuhnya di hadapanku. Senyumnya terangkai lembut, hangat seperti marshmallow bakar. Wajahnya berbentuk oval dengan kulit putih, seputih susu. Jika dibandingkan dengan peri Dryad –seperti yang dikatakannya tadi pada peri galak di hadapanku ini- dia sungguh lebih cantik. Tubuhnya tinggi seakan dia adalah ratu dari segala peri di dunia. Ia tersenyum menenangkan kepadaku.

“Manusia… Apa yang dilakukan Dryad terhadapmu. Ia gadis yang sedikit galak bukan?” ia terkikik pelan. Wajahnya menjadi cerah, tak seperti saat ia baru muncul tadi. Matanya menatap mataku, ia seperti Dewi Aphrodite. Membius.

“Ah! Bodoh!” Dryad mendengus kesal. Wajahnya menjadi jauh lebih buruk. Ia kemudian terbang ke atas –hampir membuat dirinya terbentur atap- kemudian mengaburkan dirinya. Hilang.

“Dryad memang kaum peri pohon yang sedikit mengerikan. Ia benci terhadap manusia” Kening wanita itu berkerut. Seakan ia sedih dengan pernyataan yang tadi diutarakannya terhadapku. Sayapnya mengibas angin. Membuat badai menjadi terlihat lebih indah. Gaun bagian bawahnya terurai. Mengembang mengempis dengan teratur.

“Kau mau kuajak berkeliling pohon pusat dari peri pohon, tampan?” ia menggenggam tangan kananku. Menyentuh pipi kiriku.

“Akan kutunjukkan semua rahasia peri kepadamu”

***

Jika kau bertanya apa kesan awalku terhadap pohon pusat peri pohon. Aku akan menjawab ‘Luas, kadang-kadang sinis, kadang-kadang baik hati, dan penuh gemerincing’ Membuat kepalaku sakit. Entah berapa frekuensi yang dihasilkan oleh kepakan sayap mereka. Mereka berterbangan kesana-kemari. Seakan-akan dipenuhi oleh kesibukan. Ruangan ini sangat luas, dapat menampung beribu-ribu peri. Dan saat kulihat atap dari tempat ini –atapnya memiliki cabang-cabang kecil dan dipenuhi dengan dedaunan-. Aku menyadari, kalau tempat ini adalah pohon. Sepertinya aku mengecil di dalam sini.

“Ini pohon ya?” Tanyaku.

“Ya, anak cerdas. Terkadang kami akan pindah ke pohon lain jika pohon ini ditebang oleh manusia. Manusia memang tak seramah dulu.” Ucapnya meratap, wajahnya menjadi sendu. Sepertinya dia juga mempunyai dendam tersendiri terhadap manusia.

“Maaf…” Aku merasa bersalah. Bagaimanapun juga. Aku adalah manusia.

“Bukan salahmu tampan. Lagipula, pada waktu tertentu manusia terkadang sangat berguna” Ia kembali tersenyum kepadaku. Peri cantik yang baik hati, walau penuh dengan masalah. Ia akan senantiasa memaafkan –sepertinya-.

Mereka mengenakan pakaian warna-warni, namun mayoritas pakaian mereka adalah warna hijau. Layaknya sebuah kota. Mereka mempunyai beragam gedung pencakar pohon, beberapa adalah sekolah, rumah sakit, bahkan beberapa mall terdapat dalam pohon. Namun perbedaannya, disini mereka terbang. Tak ada yang mau mengendarai onggokan benda kotak besi penyebab kehancuran dunia.

“Umm, Bukankah peri itu tinggal dalam setiap pohon? Kenapa peri disini ada banyak sekali?” Lagi-lagi aku bertanya. Ia memandang aneh terhadapku. Biar kutebak, Sepertinya mulai lelah akan pertanyaanku atau aku memberikan pertanyaan yang bodoh.

“Sebenarnya Peri pohon itu tak akan mati jika pohonnya dibunuh oleh manusia atau faktor-faktor lain. Peri yang kehilangan pohonnya akan kembali ke pusat pohon para peri pohon. Kadang juga, peri akan berlibur kesini atau menyekolahkan anaknya.”

Aku mengangguk pelan. Awalnya kukira akan menjadi sangat menakjubkan berada dalam sini, tapi ternyata ruangan ini membuatku pusing bukan main. Suara gemerincing sayap. Percakapan-percakapan beribu peri yang terlihat sibuk –walau aku tak tahu apakah mereka benar-benar sibuk-. Sekali lagi aku memberi kesimpulan tersendiri terhadap dunia peri pohon, Peri-peri disini tuli ya?

Kembali lagi aku menatap si peri cantik. Ia masih menggenggam tanganku erat agar aku tak terjatuh ke bawah. Mengerikan juga membayangkan kalau tiba-tiba ia terpesona akan sesuatu dan tak menyadari kalau ia menggenggam tanganku, kemudian ia melepaskan genggamannya dan pergi ke arah sesuatu yang membuatnya terpesona itu. Aku terjatuh dengan ketinggian kira-kira beribu-ribu kaki dan sesampai di dasar aku hancur berhamburan dengan bau busuk yang seketika mengocok perut. Tragis sekali. Tidak, tak usah dibayangkan lagi, “Berarti tempat ini mudah ditemukan iya kan? Apa seseorang bisa mengintip dalam sini dan menemukan kalian? Atau mungkin burung pelatuk atau hewan-hewan pohon lainnya?” Aku menanyakan hal bodoh lagi.

“Kami memilih letak pohon yang jauh dari lingkungan manusia, tapi tetap saja tempat ini kadang terendus. Masalah penampakan kami oleh hewan-hewan pohon. Tempat ini dilindungi oleh magis.” Ucapnya. Ia memandang gedung yang paling tinggi dari segala gedung yang ada. Oh tidak! Ia terpesona, kuharap ia tak menjatuhkan pegangannya dari tanganku “kau tahu gedung yang menjulang itu? Itu adalah tempat makan favorit kami. Kau lapar bukan? Kurasa kau pasti akan menyukainya, makanan disana sangat lezat” Oh, hampir saja. Kukira ia akan menjatuhkanku ke bawah dengan ketragisan tingkat tinggi.

Gemerincing sayapnya mengantarkanku ke arah gedung tinggi itu. Banyak peri bersusun mengantri di luar untuk memperebutkan meja. Terkadang terdengar gerutu tamu kelaparan. Meja-meja sangat beragam, terbuat dari kayu dan taplak dedaunan. Gedungnya tinggi, menampung ratusan meja bahkan terdapat meja melayang. Namun tetap saja banyak peri yang tak mendapat meja. Tempat ini sangat penuh. Lebih memusingkan daripada keadaan di luar gedung. Bau kari menyerbak masuk ke indra penciumanku, tak hanya itu, adapula bau pizza, hamburger, daging panggang dan bermacam-macam bau lainnya.

Tanpa perlu mengantri kami langsung mendapatkan meja -entah kenapa-, saat ingin kutanyakan, pelayan disana memanggil peri yang membawaku ini dengan sebutan ‘nona muda’. Dan tanpa bertanya, kurasa aku segera mengerti.

Bermacam-macam makanan disajikan diatas meja melayang tempatku makan. Daging panggang, pizza, hamburger, sup daging, dan masih banyak lagi makanan menggoda yang terhidang di hadapanku. Aku memotong daging panggang yang baunya membuat perutku keroncongan. Mengunyahnya perlahan, daging panggang yang kukunyah ini memiliki kualitas daging kelas satu sehingga terasa empuk dan juga memiliki takaran bumbu yang pas. Aroma dagingnya-pun harum, membuatku ingin mencoba lagi dan lagi hingga kekenyangan. Jika dibandingkan dengan makanan manusia di luar, makanan peri ini akan menang telak dengan skor sempurna.

“Tampan” Panggil Si peri cantik. Ia tersenyum.

“Kemarilah… Aku akan membawamu ke rumahku” kembali lagi ia menggenggam tanganku dan membawaku terbang entah ke bagian mana dari gedung. Lama berputar-putar. Ia berhenti di pintu sebuah ruangan. Mungkin tempat ini adalah rumahnya. Ia membuka pintunya dengan mengucapkan sesuatu, kurasa itu adalah pintu magis. Dan saat pintunya terbuka pelan, tiba-tiba Ia mendorongku keras, menciptakan luka memar pada bagian pahaku. Aku mendongak ke atas. Menduganya terpesona akan sesuatu sehingga menjatuhkanku. Aku menemukan bayak peri lesu lain di ruangan ini. Eh, bukan. Mereka bukan peri, mereka tak mempunyai sayap.

Mataku sibuk mencari-cari peri cantik itu. Namun hanya tawa yang terdengar. Pasti tawanya.

“Manusia yang malang, Bagusnya kau dijadikan daging panggang atau topping pizza ya? Hahaha…” Tawanya memecah. Suara aslinya Nampak kembali, seperti saat awal aku bertemu dengannya di rumah pohon.

“Kau begitu bodoh, tak menyadarinya. Kenapa kau tak heran ada peri yang makan daging, huh? Kami sebenarnya adalah kaum vegetarian. Kau tahu? Kami membenci beberapa manusia. Apalagi manusia penebang. Kami menangkapnya, menyekapnya ke dalam sel dan menyiksanya hingga mati. Tapi ayahku membuat perubahan…” Ia mengintip di jendela kaca kecil transparan, menatapku sambil membasahi bibirnya. Mataku melotot marah, PERI GILA!! “ayahku memasak mereka satu persatu dan menciptakan restoran ini. Hanya kaum Dryad yang tak menyukainya, mereka tetap menjadi vegetarian, khukhukhu… Aku sudah bosan memakan sayuran!!! Daging manusia sungguh lebih lezat dibandingkan daging hewan. Bukankah kau juga mengakuinya, Anak tampan?” ia tertawa mengerikan. Rasa mual menyeruak dari lambungku. Jadi tadi… aku mengkonsumsi daging manusia??

“Dasar peri dungu! Seharusnya dari awal aku tak mempercayaimu!! Bodoh sekali!!” Ia menertawaiku habis-habisan.

“Selamat tinggal tampan… aku sudah tak sabar mencicipi dagingmu untuk dijadikan bola daging kesukaanku” Suara gemerincing sayapnya terdengar menjauh. Meninggalkanku sendiri bersama dengan manusia-manusia putus asa.

Aku menarik nafas lemas, udara memenuhi rongga paru-paruku kemudian kuhembuskan secara perlahan “Naik balon udara sepertinya terdengar jauh lebih baik”



1 Respon pembaca:

Myside^-^ mengatakan...

ahh... wildy...

endingnya sangat tidak terduga....
huhuhu

Posting Komentar