A life

Makhluk jahanam itu menyebutku hina. Mereka menganggapku sebagai kesalahan sang pencipta. Percobaan yang gagal, tak pernah diinginkan untuk menapakkan kaki-kaki bergerigiku di dunia ini. Jika mereka merasakan kehadiranku. Mereka akan mencoba untuk melenyapkanku, membunuhku dengan keji. Dengan kaki raksasa, mereka akan menginjak tubuh kecilku hingga isi perutku berhamburan, seperti yang dilakukannya terhadap anak maupun saudara-saudaraku. Mereka memberikanku panggilan yang paling memuakkan seumur hidupku. ‘kecoa’ adalah sebutan yang mengerikan. Mereka membenciku, dan aku turut membenci mereka, ya, siapa lagi mereka kalau bukan sesuatu yang paling buruk di dunia ini, manusia.

***
Telah lama aku hidup di dunia ini. Berkelit dari kejaran manusia peneror. Aku merasa paling nyaman berada dalam istanaku. Sekeranjang penuh sampah yang tak pernah diangkut oleh manusia biadab itu. Tak terhitung lagi berapa jumlah anakku. Meski kini sudah tak bersisa lagi. Dan entah, siapa lagi serangga mengkilat cantik yang akan kutemani bersanding agar menghasilkan banyak keturunan lagi. Telah 5 kali sang mentari serta rembulan berganti posisi. Dan untuk saat ini, akulah pemegang tongkat senioritas di lingkungan ini. Tidak yang lain. Entah mengapa, menurut kesimpulan yang kudapatkan dari percakapan paman-pamanku dulu, angka harapan hidup kaum serangga macam kami semakin lama semakin menurun. Semua itu akibat manusia. Makhluk hidup yang sebenarnya tak layak hidup di dunia. Bukan kami, tapi mereka. Merekalah yang sebenarnya hina, menjijikkan dan sebuah kesalahan.

Namun terkadang, jika manusia biadab itu membawa manusia lainnya yang bersuara melengking itu. Aku menyukainya. Aku akan keluar dari keranjang sampahku dan mengitari zona merah. Kemudian, akan kudekati manusia itu tanpa merasa takut sama sekali, sedetik kemudian ia pasti akan menjerit sekuat yang ia bisa dan melompat ke sana kemari. Tangannya mencengkeram plastik berjaring mematikan –pemukul serangga kemudian menepuk ke segala arah secara membabi buta. Apalagi, hal yang sangat menyenangkan apabila pemilik rumah hanya menoleh malas kepada makhluk melengking itu, terlihat tak berminat sama sekali.. Kalau sudah seperti itu, aku akan berusaha untuk menaiki kaki raksasanya sampai ia lemas sembari memejamkan matanya. Dan saat itu juga, aku merasa sangat puas. Aku senang mempermainkan manusia bersuara melengking. Hanya manusia bersuara melengking. Karena itu semacam hiburan menarik dalam menuntaskan dendamku.
***

Krek
Aku mengintip dari balik keranjang sampah. Akalku mengatakan kalau bunyi ‘krek’ berarti sebuah hiburan menarik akan muncul tak lama lagi. Bagus, pikirku. Manusia melengking itu hadir kembali. Aku merasa pembalasan akan dendam terhadap kaumku akan terbalaskan oleh jeritan manusia melengking itu sesaat lagi. Akan kubuat makhluk hidup jahanam itu memohon ampun kepadaku .

Aku berlari-lari kecil ke arah manusia melengking itu. Kaki bergerigiku merayap-rayap menuruni keranjang sampah. Manusia melengking itu belum meyadari kehadiranku. Sementara, pemilik rumah merebahkan tubuh gempalnya ke suatu gumpalan yang sepertinya empuk. Seumur hidupku tak pernah aku melihatnya melakukan kegiatan lain selain merebahkan tubuh gempal ke gumpalan itu. Suara jeritan tiba-tiba terdengar lantang memecah keheningan. Makhluk melengking itu telah melihatku!. Semangat hidupku menggelora. Semakin kudekati salah satu bagian dari tubuhnya, ia meloncat-loncat tak tentu arah. Tak jelas frekuensinya. Aku merasa di atas angin. Tangannya menggapai-gapai sesuatu yang memanjang di sampingnya. Benda berijuk raksasa hampir saja menghantam tubuhku. Aku menghindar dengan cepat, terarah dan terencanakan sebelumnya. Namun, benda berijuk itu menghantam lantai secara membabi buta. Sehingga membuatku sedikit bingung untuk melarikan diri.

Plak!
Aku merasa sakit pada seluruh bagian tubuhku. Perih yang luar biasa. Cairan bening menodai bagian terkecil dari lantai. Namun bagian terkecil itu adalah kesakitan yang luar biasa untukku. Aku baru saja dihantam oleh benda ijuk raksasa mengerikan itu. Namun aku tak gentar, kali ini kucoba untuk mundur dari pembalasan dendam, aku mencoba untuk melawan manusia biadab melengking itu lain kali. Dendamku semakin membara. Aku masih hidup dan akan membalas semuanya terhadapmu! Sekuat tenaga kugerakkan kaki-kakiku menuju ke istana sampahku. Beberapa kakiku ada yang telah sudah tak berfungsi lagi, membuatku menyeret kaki-kaki tak berfungsi itu. Gerakanku menjadi sangat lambat. Dan sangat beruntung, manusia melengking menyebalkan itu telah pergi entah kemana.

Terseok-seok aku berusaha memanjat keranjang sampah. Tapi terus saja kuterjatuh. Keranjang sampah menjadi lebih licin daripada biasanya.
Lihatlah nanti, makhluk terhina! Akan kubalas seluruh perilakumu terhadap kaumku!

Setelah aku sehat nanti, aku akan membentuk koloni serangga terbesar dan menyerang kalian semua. Menggerogoti seluruh tubuh kalian hingga jutaan penyakit singgah dalam kehidupan kalian, makhluk jahanam!. Akan kubantai kalian bersama dengan kaumku! Lihat saja… Lihat saja…

Kupanjati keranjang sampah, namun sayangnya kakiku tak cukup kuat. Pijakan kaki manusia terdengar lagi. Aku semakin panik. Tubuhku butuh penyembuhan yang lebih dalam istanaku. Kupanjati lagi namun tak bisa. Kini, sebagian kakiku telah mati rasa. Aroma yang tak bersahabat dengan organ pernapasanku membumbui tubuhku dari udara. Membuatku sedikit sesak. Pemilik rumah gembul menarik antenaku. Aku meronta-ronta berteriak berusaha agar ada serangga lain yang akan menolongku.

Jika aku sehat nanti, manusia yang pertama kali kuserbu adalah kau! Dasar peneror! Penyebab kerusakan dunia! Pengacau brengsek! Tuhan sungguh tak adil menganugerahkan kekuasaan tertinggi kepada kalian, terutama kepadamu! Kami akan memberontak dan merebut kekuasaan itu! Jumlah kami lebih banyak daripada jumlah kalian semua!


Harapanku tergantung di udara. Berbanding terbalik dengan kondisiku saat ini. Tak kuat rasanya aku menghirup udara lagi. Rasanya udara tersebut memberontak merusak organ-organ dalamku yang hanya seberapa jumlahnya.
Tunggulah saat-saat itu nanti. Lihat saja… lihat saja….

Tubuhku serasa melemah. Raga serasa lepas dari kehidupanku yang panjang. Mungkin tak sempat lagi aku melihat pergantian matahari dengan bulan yang keenam kali. Hal terakhir yang dapat aku rasakan dari detik-detik terakhir hidupku ialah terbentur keras menabrak beton jalanan. Memecah semangatku yang dahulunya berkobar dan melayangkan keinginan terakhirku ke atas langit mendung yang kelam.

0 Respon pembaca:

Posting Komentar